Long March Rel Kereta ...
Bismillah,
Minggu (25/3/07) saya beserta junior saya di Resimen Mahasiswa Batalyon I / ITB, Bambang (SI'04) berangkat menyusuri rel kereta api dimulai dari stasiun Pagadenbaru dan berakhir di stasiun Haurgeulis. Bagi yang belum tau dimana letak kedua stasiun ini ... stasiun berangkat Pagadenbaru ini terletak di Pagaden, Kab. Subang sedangkan stasiun Haurgeulis terletak di Kab. Indramayu. Memang walau berbeda kabupaten tapi letaknya berdampingan.
Saat itu pukul 1045 pagi saya tiba di stasiun Pagadenbaru. Sedangkan junior saya tadi datang lebih dahulu. Setelah mempersiapkan segalanya untuk survey rel KA -termasuk ransum- kami berangkat pukul 1116. Sejujurnya, rel tersebut adalah rel aktif sehingga frekuensi kereta api cukup tinggi. Yah, setidaknya tiap 16 menit kami akan berpapasan dengan kereta api.
Ada satu kejadian yang cukup membuat kami cukup terpana dalam survey kemarin yaitu pada saat kami meninggalkan stasiun Pagadenbaru. Waktu kami jalan menyusuri rel -tidak berjalan di bahu rel tapi tepat di tengah2 rel memijak beton2 penyangga rel- kami diperingati oleh warga sekitar mengenai kereta api yang akan lewat ... "Awas kereta api!" kira2 begitu tukas seorang gadis kecil sambil menggendong seorang anak. Bambang menyahut saya "Pak .. ! Pak .. ! Kereta apinya sudah dekat!". Waduh ...
Ternyata lokomotif bercat merah dengan logo khas PT KAI sudah di depan mata kira2 100 m-an !!
Langsung saya dan Bambang berpindah ke jalur kedua. Alhamdulillah, setelah itu kami berterima kasih ke gadis kecil tersebut. Dan perjalanan panjang pun kami lanjutkan. Jalur kereta api tersebut ada 2; jalur ke arah Timur dan Barat. Kami berjalan di rel arah Barat karena di jalur tersebut kereta api selalu berada di depan sehingga mudah bagi kami untuk menentukan kapan akan berpindah jalur. Di sela-sela perjalanan saya sempat berkelakar untuk mengusir sepi yaitu adanya silhouette struktur yang persis menyerupai orang sedang menopang kaki untuk lari sprint.
Cuaca saat itu panas terik. Keringat mulai bercucuran membasahi muka dan tangan tapi perjalanan masih panjang dan harus mengantisipasi kedatangan kereta api serta panas yang menyengat. Waktu kami menempuh perjalanan samar2 terdengar suara Azan Zuhur ... yak, benar. Sudah pukul 1204 siang, matahari saat itu sedang memancarkan gelombang elektromagnetik dan foton dengan intensitas tertinggi. Fatamargana terlihat jelas di depan mata sehingga seolah2 ada genangan air padahal itu adalah fenomena alam berupa cahaya yang memantul dari permukaan tanah akibat dari udara yang panas mengubah indeks bias cahaya, sehingga menurut Snellius ada cahaya yang dibiaskan dan dipantulkan.
Akhirnya kami beristirahat di ladang entah karet atau apa yg penting menyejukkan. Kami berdiskusi kapan dan dimana kami akan shalat Zuhur serta studi peta untuk mengetahui kami sedang berada di mana dan kapan kira2 kami akan sampai ke stasiun berikutnya sebelum stasiun terakhir. Jadi, setelah menegak aqua botol 1-2 tegukan dan berbagi dodol kacang merah kami berangkat kembali. Selama perjalanan kami melihat2 apakah kami akan menemukan mushala atau masjid untuk shalat. Akhirnya kami sampai di desa Pagiri Mulia ... di sana lah kami menemukan mushala dan shalat Zuhur di sana. Seusai shalat kami pun studi peta lagi untuk menentukan lokasi persisnya, ternyata ada beberapa tokoh masyarakat yang juga setelah shalat Zuhur menyatroni kami dan berbincang2 sedikit. Salah seorang diantaranya adalah Ustad Ulumuddin yang bertutur bahwa di sekitar desa Parigi Mulia ternyata banyak yang berasal dari Cirebon dan Indramayu sehingga bahasa mulai tertransisi antara Sunda dan Jawa. Setelah itu ada seorang lagi yg saya lupa namanya siapa ... namun beliau menyodorkan kami segelas teh manis dingin dan air putih, Alhamdulillah ... saat kami sedang haus2nya :)
Memang benar apa yang 4JJ1 firman-kan dalam surah Alam Nasyrah 5-6:
Fa inna ma al usri yusron(94:5) "Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan"
Inna ma al usri yusron(94:6) "Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan"
Pada saat kami sedang butuh2nya bantuan ternyata 4JJ1 Maha Penyayang dengan memberikan kami rizqi berupa hidangan minuman dingin di sela-sela panasnya matahari yang sedang bersinar. Setelah pamit dengan mereka kami akhirnya melanjutkan kembali perjalanan kami. Dalam perjalanan pun kami bersyukur karena dipertemukan oleh beberapa tokoh yang baik. Selain itu kami juga diberikan rizqi tadi. Alhamdulillah ...
Selanjutnya ... kami sampai pada stasiun Cipunagara yang terletak antara stasiun Pagadenbaru dengan Haurgeulis. Di stasiun Haurgeulis kami bertemu dengan para petugas stasiun di sana dan sempat berbincang2 sedikit sambil permisi memakai air untuk membasuh muka yang sudah mulai berkeringat lagi. Setelah pamitan kami melanjutkan kembali ke stasiun terakhir pada survey kami kali ini.
Ternyata ...
Pada survey ini kami banyak sekali berjumpa dengan orang baru dengan karakteristik yang berbeda2. Sekalian menyambung silaturahmi gitu ...
Stasiun terakhir cukup menyita tenaga karena ternyata relatif lebih panjang daripada Pagadenbaru - Cipunagara. Secara total keseluruhan jarak Pagadenbaru - Haurgeulis adalah 16-17 km. Sama halnya dengan jalan kaki dari ITB ke Ujungberung bolak balik. Yah, cukup jauh untuk sebuah perjalanan apalagi dengan menggunakan kaki. Tapi capeknya survey dikalahkan oleh rasa bersyukur kami terhadap apa yang telah kami lalui. Sampainya di Haurgeulis kami memutuskan untuk shalat Asar dahulu karena waktu sudah menunjukkan pukul 1635 sore. Setelah shalat kami akhirnya kembali ke stasiun untuk menunggu rekan kami yang akan menjemput. Dalam perjalanan ternyata ada warung nasi jamblang ... makanan khas Cirebon. Bambang yang kebetulan orang Cirebon mengajak saya makan di sana sekalian melepas kangen karena dia ternyata sudah merindukan nasi tersebut sejak beberapa bulan lalu.
Tapi rekan kami yg akan menjemput pun memiliki sedikit masalah yaitu terpuruk di salah satu jalan menuju stasiun Haurgeulis. Akhirnya kami pun shalat Maghrib di mushala Al Yaqiin tepat di depan stasiun, setelah shalat ada seorang bintara berpangkat Sersan Kepala (Serka) yang bertanya ke kami tentang latihan. Kemudian beliau menceritakan pengalaman operasi dan latihan serta memberikan tips bagaimana menjaga telapak kaki dari pelepuhan. Karena kalau telapak kaki melepuh karena terlalu sering berjalan maka siapapun dari kesatuan apapun akan mengalami degradasi semangat yang cukup kentara.
Sekali lagi ... kami diberikan rizqi berupa teh manis dan sepiring rengginang. Sambil menunggu mereka datang kami shalat Isya di mushala yang sama. Akhirnya mereka datang menjemput kami ke Bandung, perjalanan cukup panjang dan melalui beberapa tempat yang cukup mengerikan kalau berjalan kaki di malam hari. Kenapa ... karena di daerah tersebut daerah pemukiman sedikit dan letaknya berjauhan antara satu dengan lainnya. Akhirnya setelah sampai di Pagadenbaru tempat saya menitipkan mobil kami kembali ke Bandung.
Yah begitulah sedikit pengalaman saya survey LMKA.
Tapi dibalik penatnya survey dan panjangnya lintasan yang tampaknya tak berujung ada beberapa hikmah yang dapat dipetik dalam latihan ini. Terutama latihan LATRAKS (LA-tihan TRA-disi K-orp-S).
LATRAKS yang berawal dari Long March Hutan Gunung (LMHG) - Tidur Kalong - Ilmu Medan Peta Kompas (IMPK) - Long March Jalan Raya (LMJR) - Long March Rel Kereta Api (LMKA) - Susur Rawa Laut - Raid memiliki karakteristik dan hikmah masing2 kalau diidentikkan dengan kehidupan nyata yang kita hadapi saat ini.
LMHG
Di hutan dimana kita tidak tau kita berada di mana dan mau ke tujuan bagaimana kita harus bisa mencari apa petunjuk yang mengarahkan kita kepada tujuan. GPS apalagi peta kompas tidak berlaku di sana. Tapi ada beberapa hal yang patut diperhatikan seperti karakteristik pohon, kecondongan medan, tanda2 taktis yang bisa diidentifikasi, dll. Nah ... analoginya adalah apabila kita berada pada kondisi kultur suatu tempat namun kita seperti berada di rimba, kita harus bisa identifikasi apa2 saja yang bisa dijadikan patokan agar kita bisa survive menuju sesuatu yang jelas tapi kita tidak tau bagaimana kita mencapai titik tersebut.
IMPK
Untuk menuju suatu titik tertentu dari mulai pemberangkatan menuju tujuan. Kita perlu untuk menentukan posisi awal dan akhir, tarik garis lurus dan kemudian tentukan berapa derajat kita harus ambil untuk mencapai titik akhir tersebut. Intinya adalah ... konsistensi. Seberapa konsisten kita mengambil titik acuan yang digunakan untuk menentukan titik berikutnya sampai tujuan tersebut tercapai. Konsistenkah kita dalam mengambil keputusan ??
LMJR
Perjalanan menempuh jarak yang cukup jauh, disertai dengan panas terik matahari dan lalu lalang kendaraan atau bahkan cercaan dari orang yang entah tidak peduli atau memang menyanjung. Semua faktor di atas adalah tantangan yang harus dihadapi oleh seorang siswa. Dapatkah dia bertahan ? Ataukah dia berubah persepsi ? Atau malah balik menantang ?? Dalam kasus dunia nyata seperti itulah godaan yang mungkin akan menambah kuat mental kita atau malah menjatuhkan mental kita di dalam kehidupan.
LMKA
Persis sama dengan LMJR namun perbedaanya terletak pada medan yang dihadapi. Panas terik, jalan rel yang kalau dilihat tak berujung dan cenderung monoton, dan kereta api yang datang menghadang dalam waktu yang tidak terduga2. Intisari yang perlu diperhatikan di dalam kehidupan nyata adalah tetap semangat walau kita sendiri tidak mengetahui berapa lama dan kapan akan mencapai target yg sudah kita tetapkan.
Susur Pantai
Operasi kali ini lebih menitikberatkan pada jiwa korsa atau solidaritas dari rekan seperjuangan. Rawa laut yang memiliki karakteristik yang tidak diketahui dan cenderung menjebak, dapat diartikan sebagai dunia yang tidak menentu dan berat untuk dilalui. Namun begitu, rekan perjuangan pun tidak boleh dibiarkan begitu saja. Seperti yang diistilahkan oleh US Army "There are 2 things you can trust in battle, God and the men next to you".
Raid
Inilah puncak dari segala operasi yang telah dilalui sebelumnya. Letak kesuksesan operasi dan sekaligus kebanggaan tersendiri, peleton, kompi maupun para pelatih ada di sini. Ibaratnya adalah pencapaian yang sudah diraih setelah menempuh jalan yang teramat sangat berat.
Filosofi perang bukanlah suatu hal yang patut ditinggalkan sebagai semboyan, namun ternyata banyak hal yang dapat diambil dari perihal peperangan. Terlepas dari jelek tidaknya perang itu sendiri, ilmu pengetahuan kemiliteran memiliki arti penting khususnya dalam menyikapi diri untuk mempersiapkan apa yang kita hadapi entah datangnya langsung atau tidak.
Yang jelas, satu hal yang saya teringat dari ucapan Mayor Rudi Hermawan -dulu Kapten pada tahun 2002- dari PUSDIKPENGMILUM -semula bernama PUSDIKGUMIL/TIH- yang intinya adalah ... prajurit dipersiapkan dalam kondisi battle ready dimanapun, kapanpun, dan bagaimanapun jadi walau dalam keadaan kondusif pun mereka seharusnya dapat mengantisipasi kondisi terparah sekalipun dan bisa beradaptasi serta mengambil tindakan yang tepat dalam waktu yang relatif singkat. Itu pula yang saya dapatkan di Resimen Mahasiswa umumnya dan di Batalyon I / ITB khususnya.
Ucapan terima kasih saya kepada para pejuang kemerdekaan RI terutama di bumi Priangan untuk mengusir penjajah tanah air melalui peristiwa Bandung Lautan Api seperti yang dilakukan oleh Moh. Toha yang meledakkan gudang mesiu Jepang di Dayeuhkolot dan rekannya Moh. Ramdan. Dan dipimpin oleh Dan Div III/Siliwangi Jendral Abdul Haris Nasution. Yang jelas diatas itu semua tak lepas dari segala ridha dan rahmat dari 4JJ1 SWT ...
--Dimas
Minggu (25/3/07) saya beserta junior saya di Resimen Mahasiswa Batalyon I / ITB, Bambang (SI'04) berangkat menyusuri rel kereta api dimulai dari stasiun Pagadenbaru dan berakhir di stasiun Haurgeulis. Bagi yang belum tau dimana letak kedua stasiun ini ... stasiun berangkat Pagadenbaru ini terletak di Pagaden, Kab. Subang sedangkan stasiun Haurgeulis terletak di Kab. Indramayu. Memang walau berbeda kabupaten tapi letaknya berdampingan.
Saat itu pukul 1045 pagi saya tiba di stasiun Pagadenbaru. Sedangkan junior saya tadi datang lebih dahulu. Setelah mempersiapkan segalanya untuk survey rel KA -termasuk ransum- kami berangkat pukul 1116. Sejujurnya, rel tersebut adalah rel aktif sehingga frekuensi kereta api cukup tinggi. Yah, setidaknya tiap 16 menit kami akan berpapasan dengan kereta api.
Ada satu kejadian yang cukup membuat kami cukup terpana dalam survey kemarin yaitu pada saat kami meninggalkan stasiun Pagadenbaru. Waktu kami jalan menyusuri rel -tidak berjalan di bahu rel tapi tepat di tengah2 rel memijak beton2 penyangga rel- kami diperingati oleh warga sekitar mengenai kereta api yang akan lewat ... "Awas kereta api!" kira2 begitu tukas seorang gadis kecil sambil menggendong seorang anak. Bambang menyahut saya "Pak .. ! Pak .. ! Kereta apinya sudah dekat!". Waduh ...
Ternyata lokomotif bercat merah dengan logo khas PT KAI sudah di depan mata kira2 100 m-an !!
Langsung saya dan Bambang berpindah ke jalur kedua. Alhamdulillah, setelah itu kami berterima kasih ke gadis kecil tersebut. Dan perjalanan panjang pun kami lanjutkan. Jalur kereta api tersebut ada 2; jalur ke arah Timur dan Barat. Kami berjalan di rel arah Barat karena di jalur tersebut kereta api selalu berada di depan sehingga mudah bagi kami untuk menentukan kapan akan berpindah jalur. Di sela-sela perjalanan saya sempat berkelakar untuk mengusir sepi yaitu adanya silhouette struktur yang persis menyerupai orang sedang menopang kaki untuk lari sprint.
Cuaca saat itu panas terik. Keringat mulai bercucuran membasahi muka dan tangan tapi perjalanan masih panjang dan harus mengantisipasi kedatangan kereta api serta panas yang menyengat. Waktu kami menempuh perjalanan samar2 terdengar suara Azan Zuhur ... yak, benar. Sudah pukul 1204 siang, matahari saat itu sedang memancarkan gelombang elektromagnetik dan foton dengan intensitas tertinggi. Fatamargana terlihat jelas di depan mata sehingga seolah2 ada genangan air padahal itu adalah fenomena alam berupa cahaya yang memantul dari permukaan tanah akibat dari udara yang panas mengubah indeks bias cahaya, sehingga menurut Snellius ada cahaya yang dibiaskan dan dipantulkan.
Akhirnya kami beristirahat di ladang entah karet atau apa yg penting menyejukkan. Kami berdiskusi kapan dan dimana kami akan shalat Zuhur serta studi peta untuk mengetahui kami sedang berada di mana dan kapan kira2 kami akan sampai ke stasiun berikutnya sebelum stasiun terakhir. Jadi, setelah menegak aqua botol 1-2 tegukan dan berbagi dodol kacang merah kami berangkat kembali. Selama perjalanan kami melihat2 apakah kami akan menemukan mushala atau masjid untuk shalat. Akhirnya kami sampai di desa Pagiri Mulia ... di sana lah kami menemukan mushala dan shalat Zuhur di sana. Seusai shalat kami pun studi peta lagi untuk menentukan lokasi persisnya, ternyata ada beberapa tokoh masyarakat yang juga setelah shalat Zuhur menyatroni kami dan berbincang2 sedikit. Salah seorang diantaranya adalah Ustad Ulumuddin yang bertutur bahwa di sekitar desa Parigi Mulia ternyata banyak yang berasal dari Cirebon dan Indramayu sehingga bahasa mulai tertransisi antara Sunda dan Jawa. Setelah itu ada seorang lagi yg saya lupa namanya siapa ... namun beliau menyodorkan kami segelas teh manis dingin dan air putih, Alhamdulillah ... saat kami sedang haus2nya :)
Memang benar apa yang 4JJ1 firman-kan dalam surah Alam Nasyrah 5-6:
Fa inna ma al usri yusron(94:5) "Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan"
Inna ma al usri yusron(94:6) "Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan"
Pada saat kami sedang butuh2nya bantuan ternyata 4JJ1 Maha Penyayang dengan memberikan kami rizqi berupa hidangan minuman dingin di sela-sela panasnya matahari yang sedang bersinar. Setelah pamit dengan mereka kami akhirnya melanjutkan kembali perjalanan kami. Dalam perjalanan pun kami bersyukur karena dipertemukan oleh beberapa tokoh yang baik. Selain itu kami juga diberikan rizqi tadi. Alhamdulillah ...
Selanjutnya ... kami sampai pada stasiun Cipunagara yang terletak antara stasiun Pagadenbaru dengan Haurgeulis. Di stasiun Haurgeulis kami bertemu dengan para petugas stasiun di sana dan sempat berbincang2 sedikit sambil permisi memakai air untuk membasuh muka yang sudah mulai berkeringat lagi. Setelah pamitan kami melanjutkan kembali ke stasiun terakhir pada survey kami kali ini.
Ternyata ...
Pada survey ini kami banyak sekali berjumpa dengan orang baru dengan karakteristik yang berbeda2. Sekalian menyambung silaturahmi gitu ...
Stasiun terakhir cukup menyita tenaga karena ternyata relatif lebih panjang daripada Pagadenbaru - Cipunagara. Secara total keseluruhan jarak Pagadenbaru - Haurgeulis adalah 16-17 km. Sama halnya dengan jalan kaki dari ITB ke Ujungberung bolak balik. Yah, cukup jauh untuk sebuah perjalanan apalagi dengan menggunakan kaki. Tapi capeknya survey dikalahkan oleh rasa bersyukur kami terhadap apa yang telah kami lalui. Sampainya di Haurgeulis kami memutuskan untuk shalat Asar dahulu karena waktu sudah menunjukkan pukul 1635 sore. Setelah shalat kami akhirnya kembali ke stasiun untuk menunggu rekan kami yang akan menjemput. Dalam perjalanan ternyata ada warung nasi jamblang ... makanan khas Cirebon. Bambang yang kebetulan orang Cirebon mengajak saya makan di sana sekalian melepas kangen karena dia ternyata sudah merindukan nasi tersebut sejak beberapa bulan lalu.
Tapi rekan kami yg akan menjemput pun memiliki sedikit masalah yaitu terpuruk di salah satu jalan menuju stasiun Haurgeulis. Akhirnya kami pun shalat Maghrib di mushala Al Yaqiin tepat di depan stasiun, setelah shalat ada seorang bintara berpangkat Sersan Kepala (Serka) yang bertanya ke kami tentang latihan. Kemudian beliau menceritakan pengalaman operasi dan latihan serta memberikan tips bagaimana menjaga telapak kaki dari pelepuhan. Karena kalau telapak kaki melepuh karena terlalu sering berjalan maka siapapun dari kesatuan apapun akan mengalami degradasi semangat yang cukup kentara.
Sekali lagi ... kami diberikan rizqi berupa teh manis dan sepiring rengginang. Sambil menunggu mereka datang kami shalat Isya di mushala yang sama. Akhirnya mereka datang menjemput kami ke Bandung, perjalanan cukup panjang dan melalui beberapa tempat yang cukup mengerikan kalau berjalan kaki di malam hari. Kenapa ... karena di daerah tersebut daerah pemukiman sedikit dan letaknya berjauhan antara satu dengan lainnya. Akhirnya setelah sampai di Pagadenbaru tempat saya menitipkan mobil kami kembali ke Bandung.
Yah begitulah sedikit pengalaman saya survey LMKA.
Tapi dibalik penatnya survey dan panjangnya lintasan yang tampaknya tak berujung ada beberapa hikmah yang dapat dipetik dalam latihan ini. Terutama latihan LATRAKS (LA-tihan TRA-disi K-orp-S).
LATRAKS yang berawal dari Long March Hutan Gunung (LMHG) - Tidur Kalong - Ilmu Medan Peta Kompas (IMPK) - Long March Jalan Raya (LMJR) - Long March Rel Kereta Api (LMKA) - Susur Rawa Laut - Raid memiliki karakteristik dan hikmah masing2 kalau diidentikkan dengan kehidupan nyata yang kita hadapi saat ini.
LMHG
Di hutan dimana kita tidak tau kita berada di mana dan mau ke tujuan bagaimana kita harus bisa mencari apa petunjuk yang mengarahkan kita kepada tujuan. GPS apalagi peta kompas tidak berlaku di sana. Tapi ada beberapa hal yang patut diperhatikan seperti karakteristik pohon, kecondongan medan, tanda2 taktis yang bisa diidentifikasi, dll. Nah ... analoginya adalah apabila kita berada pada kondisi kultur suatu tempat namun kita seperti berada di rimba, kita harus bisa identifikasi apa2 saja yang bisa dijadikan patokan agar kita bisa survive menuju sesuatu yang jelas tapi kita tidak tau bagaimana kita mencapai titik tersebut.
IMPK
Untuk menuju suatu titik tertentu dari mulai pemberangkatan menuju tujuan. Kita perlu untuk menentukan posisi awal dan akhir, tarik garis lurus dan kemudian tentukan berapa derajat kita harus ambil untuk mencapai titik akhir tersebut. Intinya adalah ... konsistensi. Seberapa konsisten kita mengambil titik acuan yang digunakan untuk menentukan titik berikutnya sampai tujuan tersebut tercapai. Konsistenkah kita dalam mengambil keputusan ??
LMJR
Perjalanan menempuh jarak yang cukup jauh, disertai dengan panas terik matahari dan lalu lalang kendaraan atau bahkan cercaan dari orang yang entah tidak peduli atau memang menyanjung. Semua faktor di atas adalah tantangan yang harus dihadapi oleh seorang siswa. Dapatkah dia bertahan ? Ataukah dia berubah persepsi ? Atau malah balik menantang ?? Dalam kasus dunia nyata seperti itulah godaan yang mungkin akan menambah kuat mental kita atau malah menjatuhkan mental kita di dalam kehidupan.
LMKA
Persis sama dengan LMJR namun perbedaanya terletak pada medan yang dihadapi. Panas terik, jalan rel yang kalau dilihat tak berujung dan cenderung monoton, dan kereta api yang datang menghadang dalam waktu yang tidak terduga2. Intisari yang perlu diperhatikan di dalam kehidupan nyata adalah tetap semangat walau kita sendiri tidak mengetahui berapa lama dan kapan akan mencapai target yg sudah kita tetapkan.
Susur Pantai
Operasi kali ini lebih menitikberatkan pada jiwa korsa atau solidaritas dari rekan seperjuangan. Rawa laut yang memiliki karakteristik yang tidak diketahui dan cenderung menjebak, dapat diartikan sebagai dunia yang tidak menentu dan berat untuk dilalui. Namun begitu, rekan perjuangan pun tidak boleh dibiarkan begitu saja. Seperti yang diistilahkan oleh US Army "There are 2 things you can trust in battle, God and the men next to you".
Raid
Inilah puncak dari segala operasi yang telah dilalui sebelumnya. Letak kesuksesan operasi dan sekaligus kebanggaan tersendiri, peleton, kompi maupun para pelatih ada di sini. Ibaratnya adalah pencapaian yang sudah diraih setelah menempuh jalan yang teramat sangat berat.
Filosofi perang bukanlah suatu hal yang patut ditinggalkan sebagai semboyan, namun ternyata banyak hal yang dapat diambil dari perihal peperangan. Terlepas dari jelek tidaknya perang itu sendiri, ilmu pengetahuan kemiliteran memiliki arti penting khususnya dalam menyikapi diri untuk mempersiapkan apa yang kita hadapi entah datangnya langsung atau tidak.
Yang jelas, satu hal yang saya teringat dari ucapan Mayor Rudi Hermawan -dulu Kapten pada tahun 2002- dari PUSDIKPENGMILUM -semula bernama PUSDIKGUMIL/TIH- yang intinya adalah ... prajurit dipersiapkan dalam kondisi battle ready dimanapun, kapanpun, dan bagaimanapun jadi walau dalam keadaan kondusif pun mereka seharusnya dapat mengantisipasi kondisi terparah sekalipun dan bisa beradaptasi serta mengambil tindakan yang tepat dalam waktu yang relatif singkat. Itu pula yang saya dapatkan di Resimen Mahasiswa umumnya dan di Batalyon I / ITB khususnya.
Ucapan terima kasih saya kepada para pejuang kemerdekaan RI terutama di bumi Priangan untuk mengusir penjajah tanah air melalui peristiwa Bandung Lautan Api seperti yang dilakukan oleh Moh. Toha yang meledakkan gudang mesiu Jepang di Dayeuhkolot dan rekannya Moh. Ramdan. Dan dipimpin oleh Dan Div III/Siliwangi Jendral Abdul Haris Nasution. Yang jelas diatas itu semua tak lepas dari segala ridha dan rahmat dari 4JJ1 SWT ...
--Dimas
Labels: Story
2 Comments:
Wah....latsar...atau latjut...atau apa pun namanya emang mengasyikkan..Bagaimana kita menaklukkan alam. Manusia beradaptasi dengan sekitar. Melelahkan dan mengasyikkan....Habis itu biasanya badan rasanya remuk semua....He...he...
Whew...serem juga tuh pas 100 meter hampir dicium kereta. Postingannya ngingetin masa-masa ikut Diklat PA dulu jaman kuliah. Hehehehe...
Post a Comment
<< Home