Belajar dari Bencana Masa Lalu ....
Bismillah,
Satu demi satu ... potongan demi potongan, sudah 200-an potongan dari pesawat Adam Air KI-574 yang sempat dinyatakan hilang dijumpai. Benar, pesawat tersebut jatuh ke laut dan bukan dari omongan orang yang tidak bertanggung jawab sebelumnya yang memberi kabar palsu pesawat jatuh di pegunungan.
Bahkan, CVR dan FDR atau yang biasa dikenal sebagai blackbox pun sudah terdeteksi di kedalaman +/- 2.000 meter --kedalaman yang mustahil bagi penyelam biasa untuk ditempuh-- Kenapa, karena tekanan hidrostatik di kedalaman tersebut dapat membuat kapal selam apalagi manusia meledak. Coba viewers bayangkan berada dalam bejana tekan yang tekanannya diatur sedemikian rupa menyerupai tekanan di kedalaman tersebut, yah ... saya rasa tidak bijaksana untuk menuturkan secara detail apa akibatnya. Pokoknya mengerikan.
Menurut teori fisika mengenai tekanan hidrostatik, tekanan berbanding lurus dengan kedalaman yang dirumuskan dengan:
Satu demi satu ... potongan demi potongan, sudah 200-an potongan dari pesawat Adam Air KI-574 yang sempat dinyatakan hilang dijumpai. Benar, pesawat tersebut jatuh ke laut dan bukan dari omongan orang yang tidak bertanggung jawab sebelumnya yang memberi kabar palsu pesawat jatuh di pegunungan.
Bahkan, CVR dan FDR atau yang biasa dikenal sebagai blackbox pun sudah terdeteksi di kedalaman +/- 2.000 meter --kedalaman yang mustahil bagi penyelam biasa untuk ditempuh-- Kenapa, karena tekanan hidrostatik di kedalaman tersebut dapat membuat kapal selam apalagi manusia meledak. Coba viewers bayangkan berada dalam bejana tekan yang tekanannya diatur sedemikian rupa menyerupai tekanan di kedalaman tersebut, yah ... saya rasa tidak bijaksana untuk menuturkan secara detail apa akibatnya. Pokoknya mengerikan.
Menurut teori fisika mengenai tekanan hidrostatik, tekanan berbanding lurus dengan kedalaman yang dirumuskan dengan:
p = ρgh
dengan p = tekanan hidrostatik (N/m^2)
g = konstanta gravitasi (m/s^2)
h = kedalaman dari permukaan (m)
ρ = massa jenis fluida (kg/m^3)
Hehehehehehe, maaf kalo ada sedikit fisika di sini :D cuman, ini hanya untuk membuktikan bahwa semakin dalam penyelaman, maka semakin tinggi pula tekanan yang akan dihadapi. Jelas dengan kedalaman sekitar 2.000 m, tekanan yang dihadapi menjadi 1.000x tekanan biasa.
Yah, harus kita akui bahwa yang menemukan blackbox tadi bukanlah pihak nasional sungguhpun awal pendeteksian adalah dari pihak TNI-AL. USNS Mary Sears yang bisa mendeteksi kedua blackbox tersebut di dasar laut yang dalam tadi, akhirnya kapal tersebut berlayar menuju Singapura. Dengan ditemukannya benda yang dapat mengungkapkan kecelakaan pesawat tersebut, maka pencarian dihentikan oleh pihak berwajib karena pesawat sudah dipastikan jatuh ... mengenai para penumpang, wallahu alam bishawab. Untuk mengambil blackbox tersebut pun memakan biaya sekitar 9 milyar !
Mungkin orang bertanya apakah memang betul2 mustahil bagi manusia untuk melakukan penyelaman sedalam itu. Jawabannya adalah ...
TIDAK !!
Mengapa ... karena penyelaman di kedalaman tersebut bukanlah apa2 dibandingkan dengan penyelaman ke dasar palung Mariana yang merupakan dasar laut terdalam di dunia --untuk diketahui, kedalamannya mencapai 11.521 m atau 11,5 km--. Penyelaman tersebut dilakukan oleh kapal USS Trieste yang diawaki oleh Dr. Jacques Piccard dan Lt. Don Walsh merupakan tipe bathyscape dan itu terjadi tanggal 5 Oktober 1959 ... 48 tahun yang lalu. Penyelaman memakan waktu sekitar 5 jam, dan komunikasi antara mereka dengan kapal pengawas di permukaan memerlukan 14 detik duplex. Dan, misi dari kapal jenis ini pun termasuk untuk mencari kapal selam AL AS yang hilang; USS Thresher yang pada akhirnya ditemukan hancur remuk di dasar laut tahun 1963. Jadi teknologi penyelaman sangat dalam ini sebenarnya bukan hal baru.
Seandainya kita ditanya bagaimana mengevakuasi bangkai pesawat tersebut dari kedalaman segitu dengan memanfaatkan teknologi nasional, maka seharusnya kita menanyakan sama insinyur perancang bathyscape tersebut mundur 50 tahun lamanya. Cukup usang dari segi masa perkembangan teknologi sebenarnya.
Oh iya ... sedikit mengenai FDR dan CVR ini:
1. CVR
Dikenal dengan Cockpit Voice Recorder. Alat ini digunakan untuk merekam segala percakapan dari cockpit selama durasi 2 jam. Perkembangannya diawali dengan media penyimpanan kawat sampai media penyimpanan memori solid state yang di-update tiap 2 jam.
2. FDR
Flight Data Recorder yang berisi rekaman dari beberapa parameter dalam penerbangan pada pesawat seperti putaran mesin, posisi aileron, flaps, dan elevator, bahan bakar, dll.
Kedua alat tersebut secara fisik dirancang untuk tahan terhadap benturan sebesar 3.500 g atau 3.500x gaya gravitasi bumi serta dilengkapi ELT (Emergency Location Transmitter) yang juga dapat dideteksi dari permukaan air. Sayangnya, data dari CVR dan FDR tersebut tidak bisa dianalisis secara sembarangan. Hanya pihak tertentu yang punya otorisasi khusus dan perangkat yang dapat mengolahnya. Di Indonesia pun kita masih belum punya dan mungkin tidak punya izin untuk analisis datanya, walau secara teknologi Indonesia sudah bisa namun tetap saja kalau tidak punya izin tidak bisa. Belum lagi para ahli penerbangan dan keselamatan transportasi umumnya.
Namun begitu, seharusnya kita tidak perlu minder karena tidak menguasai teknologi maupun strategi penanggulangan bencana tersebut. Karena di Indonesia saya yakin sekali bahwa banyak para ahli yang dapat merancang baik secara konsep penanganan maupun teknis dari penanganan air disaster ini --masa' dari 200an juta penduduk kita tak satupun yang punya ide dan solusinya? Kalo memang tidak ada kebangeten namanya--. Daripada kita harus mengucurkan dana yang besar karena manajemen yang kurang baik. Hal ini tinggal permasalahan kemauan, kerja keras, dana, dan protokol terpenting yaitu perumusan kebijakan yang berujung pada standarisasi mengenai hal terkait. Kalau kita ikhtiar keras untuk ini Insya 4JJ1 bisa, yakinlah itu. Hmmm, yang saat ini saya pikirkan adalah bagaimana integrasi dari konsep dan teknis ini sehingga penanggulangannya efektif dan efisien; meminjam istilah pak Yusep Rosmansyah, Ph.D dan pak Dr.Ir. Armein ZR Langi yaitu sistem informasi dan komunikasi segitiga 3 layer yang berisi layer infrastruktur, layer konten layanan, dan layer regulasi dan standarisasi.
Inti dari postingan kali ini seperti postingan saya sebelumnya adalah ... jangan sampai kejadian yang sama terulang kembali untuk yang kesekian kalinya karena kita tidak belajar dari banyak hal yang telah lewat. Kita bisa belajar dan bangkit dari kegelapan di masa lalu untuk perbaikan dan kebaikan di masa mendatangnya. Seperti yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW:
Barangsiapa yang hari esok lebih baik dari hari kemarin maka dia adalah orang yang beruntung, barangsiapa yang hari esok sama dengan hari kemarin maka dia merugi, dan barangsiapa yang hari esok lebih buruk dari hari kemarin maka dia celaka.
Semoga kita semua belajar dan dapat terus mengevaluasi dan mengintrospeksi dari yang sudah lewat untuk investasi di masa mendatangnya sehingga ketidakrapian sistem dapat diatasi. Khususnya dari bencana yang saya ceritakan di awal tadi.
--Dimas
Yah, harus kita akui bahwa yang menemukan blackbox tadi bukanlah pihak nasional sungguhpun awal pendeteksian adalah dari pihak TNI-AL. USNS Mary Sears yang bisa mendeteksi kedua blackbox tersebut di dasar laut yang dalam tadi, akhirnya kapal tersebut berlayar menuju Singapura. Dengan ditemukannya benda yang dapat mengungkapkan kecelakaan pesawat tersebut, maka pencarian dihentikan oleh pihak berwajib karena pesawat sudah dipastikan jatuh ... mengenai para penumpang, wallahu alam bishawab. Untuk mengambil blackbox tersebut pun memakan biaya sekitar 9 milyar !
Mungkin orang bertanya apakah memang betul2 mustahil bagi manusia untuk melakukan penyelaman sedalam itu. Jawabannya adalah ...
TIDAK !!
Mengapa ... karena penyelaman di kedalaman tersebut bukanlah apa2 dibandingkan dengan penyelaman ke dasar palung Mariana yang merupakan dasar laut terdalam di dunia --untuk diketahui, kedalamannya mencapai 11.521 m atau 11,5 km--. Penyelaman tersebut dilakukan oleh kapal USS Trieste yang diawaki oleh Dr. Jacques Piccard dan Lt. Don Walsh merupakan tipe bathyscape dan itu terjadi tanggal 5 Oktober 1959 ... 48 tahun yang lalu. Penyelaman memakan waktu sekitar 5 jam, dan komunikasi antara mereka dengan kapal pengawas di permukaan memerlukan 14 detik duplex. Dan, misi dari kapal jenis ini pun termasuk untuk mencari kapal selam AL AS yang hilang; USS Thresher yang pada akhirnya ditemukan hancur remuk di dasar laut tahun 1963. Jadi teknologi penyelaman sangat dalam ini sebenarnya bukan hal baru.
Seandainya kita ditanya bagaimana mengevakuasi bangkai pesawat tersebut dari kedalaman segitu dengan memanfaatkan teknologi nasional, maka seharusnya kita menanyakan sama insinyur perancang bathyscape tersebut mundur 50 tahun lamanya. Cukup usang dari segi masa perkembangan teknologi sebenarnya.
Oh iya ... sedikit mengenai FDR dan CVR ini:
1. CVR
Dikenal dengan Cockpit Voice Recorder. Alat ini digunakan untuk merekam segala percakapan dari cockpit selama durasi 2 jam. Perkembangannya diawali dengan media penyimpanan kawat sampai media penyimpanan memori solid state yang di-update tiap 2 jam.
2. FDR
Flight Data Recorder yang berisi rekaman dari beberapa parameter dalam penerbangan pada pesawat seperti putaran mesin, posisi aileron, flaps, dan elevator, bahan bakar, dll.
Kedua alat tersebut secara fisik dirancang untuk tahan terhadap benturan sebesar 3.500 g atau 3.500x gaya gravitasi bumi serta dilengkapi ELT (Emergency Location Transmitter) yang juga dapat dideteksi dari permukaan air. Sayangnya, data dari CVR dan FDR tersebut tidak bisa dianalisis secara sembarangan. Hanya pihak tertentu yang punya otorisasi khusus dan perangkat yang dapat mengolahnya. Di Indonesia pun kita masih belum punya dan mungkin tidak punya izin untuk analisis datanya, walau secara teknologi Indonesia sudah bisa namun tetap saja kalau tidak punya izin tidak bisa. Belum lagi para ahli penerbangan dan keselamatan transportasi umumnya.
Namun begitu, seharusnya kita tidak perlu minder karena tidak menguasai teknologi maupun strategi penanggulangan bencana tersebut. Karena di Indonesia saya yakin sekali bahwa banyak para ahli yang dapat merancang baik secara konsep penanganan maupun teknis dari penanganan air disaster ini --masa' dari 200an juta penduduk kita tak satupun yang punya ide dan solusinya? Kalo memang tidak ada kebangeten namanya--. Daripada kita harus mengucurkan dana yang besar karena manajemen yang kurang baik. Hal ini tinggal permasalahan kemauan, kerja keras, dana, dan protokol terpenting yaitu perumusan kebijakan yang berujung pada standarisasi mengenai hal terkait. Kalau kita ikhtiar keras untuk ini Insya 4JJ1 bisa, yakinlah itu. Hmmm, yang saat ini saya pikirkan adalah bagaimana integrasi dari konsep dan teknis ini sehingga penanggulangannya efektif dan efisien; meminjam istilah pak Yusep Rosmansyah, Ph.D dan pak Dr.Ir. Armein ZR Langi yaitu sistem informasi dan komunikasi segitiga 3 layer yang berisi layer infrastruktur, layer konten layanan, dan layer regulasi dan standarisasi.
Inti dari postingan kali ini seperti postingan saya sebelumnya adalah ... jangan sampai kejadian yang sama terulang kembali untuk yang kesekian kalinya karena kita tidak belajar dari banyak hal yang telah lewat. Kita bisa belajar dan bangkit dari kegelapan di masa lalu untuk perbaikan dan kebaikan di masa mendatangnya. Seperti yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW:
Barangsiapa yang hari esok lebih baik dari hari kemarin maka dia adalah orang yang beruntung, barangsiapa yang hari esok sama dengan hari kemarin maka dia merugi, dan barangsiapa yang hari esok lebih buruk dari hari kemarin maka dia celaka.
Semoga kita semua belajar dan dapat terus mengevaluasi dan mengintrospeksi dari yang sudah lewat untuk investasi di masa mendatangnya sehingga ketidakrapian sistem dapat diatasi. Khususnya dari bencana yang saya ceritakan di awal tadi.
--Dimas